SISTEM POLITIK PASCA
JATUHNYA REZIM ORDE BARU
Seiring dengan jatuhnya rezim orde
baru pimpinan Soeharto selama 32 tahun , maka sebuah era baru muncul . yaitu
adanya pengakuan terhadap Multikulturalisme yang dulunya selama periode 32
tahun tersebut hanya dianggap “ada”
tanpa pengakuan jelas. Kini di era reformasi yang telah menganut paham
desentralisasi, kearifan local itu membaur dengan budaya asli Multikulturalisme
. Multikulturalisme perlu dikaji lebih jauh tentang konsep-konsepnya antara
lain demokrasi, keadilan, dan hukum , nilai-nilai budaya dan etos , kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat , suku bangsa , kesuku bangsaan , kebudayaan
suku bangsa , keyakinan keagamaan , ungkapan-ungkapan budaya , domain privat
dan public , HAM , Hak budaya Komunity , dan sebagainya .
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberi harapan baru
kepada seluruh elemen masdyarakat Indonesia akan terciptanya kehidupan yang
lebih baik dalam segala hal. Pada zaman Orde Baru, represifitas Pemerintah pada
waktu itu menciptakan masalah - masalah seperti diskriminasi rasial terhadap
etnis tertentu (dalam beberapa hal), perlakuan tidak adil bagi orang – orang
(dan keluarganya) yang diduga terlibat dalam jaringan PKI, intervensi,
pengekangan kebebasan dan hak berpolitik masyarakat untuk berpikir,
berorganisasi, mengemukakan pendapat, dan sebagainya.
Hadirnya Reformasi kemudian seakan menunjukkan sebuah jalan terang yang meluluhkan semua bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi, pengekangan kebebasan,dan sebagainya yang sempat terjadi selama masa Orde Baru. Reformasi memberikan mimpi dan harapan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih demokratis, di mana kesejahteraan rakyat menjadi spiritnya. Jaminan terhadap adanya kebebasan – kebebasan yang sebelumnya dikekang kemudian memberi peluang – peluang bagi terwujudnya suatu tatanan baru dalam masyarakat Indonesia.
Pergeseran penafsiran makna demokrasi dan kebebasan berpolitik kemudian terjadi di dalam masyarakat Indonesia, begitu pula dalam hal manifestasi dan implementasinya. Kondisi yang terjadi di Indonesia kemudian adalah bertumbuh jamurnya berbagai partai politik dengan berbagai basis ideologi yang berbeda, khususnya pasca jatuhnya Orde Baru. Hal ini tentunya adalah konsekuensi dari adanya jaminan akan kebebasan dan hak berpolitik serta demokrasi yang dijanjikan oleh reformasi.
Yang menjadi masalah kemudian adalah partai – partai politik ini lebih sibuk mengaspirasikan kepentingan mereka sendiri dan melupakan apa yang menjadi aspirasi rakyat. Mereka sibuk berebut dan membagi – bagi kekuasaan kemudian melupakan substansi tujuan dari kekuasaan (politik) yaitu pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Berbagai kekhawatiran kemudian muncul dari kondisi perpolitikan seperti ini di masa yang akan datang. Begitupula dengan dampak yang akan ditimbulkan jika kondisi kondisi seperti ini terus terjadi, baik itu bagi lingkungan domestik Indonesia dengan berbagai bidang di dalamnya, maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional.
Kemajemukan dan pluralitas masyarakat Indonesia , menurut Retno Andriati ( 1999 ) dapat dilihat secara horizontal maupun vertical . Indonesia dapat dikelompokkan menurut agama, ras, etnis, budaya dan lokalitas. Ini merupakan fisikal dan cirri-ciri bawaan dari masyarakat tersebut , jadi suatu masyarakat tersebut memiliki keunikan yang merupakan warisan nenek moyang mereka yang dipertahankan sampai sekarang. Secara vertical , masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi golongan atas, golongan menengah , dan golongan bawah. Tahun-tahun pertama reformasi dimana kondisi labil yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dan adanya perubahan-perubahan frontal . baik dari segi sitem maupun pemerintahan , menjadikan semacam ke-chaos-an dalam masyarakat . Seperti ketika terjadi di Ambon , poso , dan Kalimantan . Dimana disana terjadi konflik horizontal yang lebih kepada pelanggaran Hak Asasi yang dilakukan kondisi masyarakatnya sendiri. Inilah dampak awal yang terjadi ketika transisi dari Orde baru ke Reformasi Dimana HAM seperti terinjak-injak oleh masyarakatnya sendiri. Akan tetapi , seiring berlangsungnya Reformasi yang telah berjalan kurang lebih selama 12 tahun ini , praktek-praktek seperti ini sudah jarang ditemukan , dan justru lebih terbuka menerima perbedaan yang ada. Mereka bahkan terintegrasi untuk memajukan Indonesia.
Hadirnya Reformasi kemudian seakan menunjukkan sebuah jalan terang yang meluluhkan semua bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi, pengekangan kebebasan,dan sebagainya yang sempat terjadi selama masa Orde Baru. Reformasi memberikan mimpi dan harapan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih demokratis, di mana kesejahteraan rakyat menjadi spiritnya. Jaminan terhadap adanya kebebasan – kebebasan yang sebelumnya dikekang kemudian memberi peluang – peluang bagi terwujudnya suatu tatanan baru dalam masyarakat Indonesia.
Pergeseran penafsiran makna demokrasi dan kebebasan berpolitik kemudian terjadi di dalam masyarakat Indonesia, begitu pula dalam hal manifestasi dan implementasinya. Kondisi yang terjadi di Indonesia kemudian adalah bertumbuh jamurnya berbagai partai politik dengan berbagai basis ideologi yang berbeda, khususnya pasca jatuhnya Orde Baru. Hal ini tentunya adalah konsekuensi dari adanya jaminan akan kebebasan dan hak berpolitik serta demokrasi yang dijanjikan oleh reformasi.
Yang menjadi masalah kemudian adalah partai – partai politik ini lebih sibuk mengaspirasikan kepentingan mereka sendiri dan melupakan apa yang menjadi aspirasi rakyat. Mereka sibuk berebut dan membagi – bagi kekuasaan kemudian melupakan substansi tujuan dari kekuasaan (politik) yaitu pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Berbagai kekhawatiran kemudian muncul dari kondisi perpolitikan seperti ini di masa yang akan datang. Begitupula dengan dampak yang akan ditimbulkan jika kondisi kondisi seperti ini terus terjadi, baik itu bagi lingkungan domestik Indonesia dengan berbagai bidang di dalamnya, maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional.
Kemajemukan dan pluralitas masyarakat Indonesia , menurut Retno Andriati ( 1999 ) dapat dilihat secara horizontal maupun vertical . Indonesia dapat dikelompokkan menurut agama, ras, etnis, budaya dan lokalitas. Ini merupakan fisikal dan cirri-ciri bawaan dari masyarakat tersebut , jadi suatu masyarakat tersebut memiliki keunikan yang merupakan warisan nenek moyang mereka yang dipertahankan sampai sekarang. Secara vertical , masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi golongan atas, golongan menengah , dan golongan bawah. Tahun-tahun pertama reformasi dimana kondisi labil yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dan adanya perubahan-perubahan frontal . baik dari segi sitem maupun pemerintahan , menjadikan semacam ke-chaos-an dalam masyarakat . Seperti ketika terjadi di Ambon , poso , dan Kalimantan . Dimana disana terjadi konflik horizontal yang lebih kepada pelanggaran Hak Asasi yang dilakukan kondisi masyarakatnya sendiri. Inilah dampak awal yang terjadi ketika transisi dari Orde baru ke Reformasi Dimana HAM seperti terinjak-injak oleh masyarakatnya sendiri. Akan tetapi , seiring berlangsungnya Reformasi yang telah berjalan kurang lebih selama 12 tahun ini , praktek-praktek seperti ini sudah jarang ditemukan , dan justru lebih terbuka menerima perbedaan yang ada. Mereka bahkan terintegrasi untuk memajukan Indonesia.
Langkah berani dilakukan oleh
pemerintah Pusat yang mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan
multikulturalisme kebudayaan ini. Bangsa ini patut berbangga mempunyai pemimpin
yang berjiwa Bhinneka Tunggal Ika . Pada
tanggal 16 September 1998 Presiden BJ. Habibie mengeluarkan instruksi presiden
nomor 26 / 1998 yang ditujukan kepada seluruh jajaran birokrasi dan
menghapuskan penggunaan istilah “ Pribumi “ dan “ Non Pribumi “ . Selanjutnya pada tanggal 17
Januari tahun 2000, Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan kepres No. 6/2000
yang berisi pencabutan instruksi Presiden No. 14/1967 tentang agama,
kepercayaan dan adat istiadat cina . Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan
mentri agama No.13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai libur fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan
larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan. Pada tanggal 17
Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun 2003,
imlek sebagai hari raya Tionghoa menjadi hari Nasional . Ini merupakan langkah
yang strategis dimana peran serta masyarakat non pribumi diakui keberadaannya
dan ikut juga diharapkan kontribusinya di dalam pembangunan Indonesia melalui
kebudayaannya . Beberapa orang Tionghoa di solo, bias berintegrasi dengan
orang-orang , lembaga-lembaga dan kebudayaan Jawa. Kegiatan seni merupakan
jembatan antar dua kebudayaan Jawa dan Cina , kegiatan seni seperti tari ,
Karawitan , Wayang ,dll. Hal tersebut sangat tidak lazim dijumpai ketika Orde
baru. Dimana kebudayaan tunduk pada represifnya pemerintahan
.Komunitas-komunitas tersebut , juga berpotensi menjadi semacam kekuatan
politik baru. Kembali ketika era Orde baru dimana kebebasan berpendapat
dikebiri , dan hal itu berpengaruh pada kebebasan berpendapat dari
komunitas-komunitas tersebut , mereka tidak bias menyuarakan pikiran-pikiran
mereka dalam politik , karena pendapatmereka seakan tidak di dengar dan bahkan
mereka tidak diberi kesempatan untuk mencicipi arena perppolitikan nasional .
Kita tahu bahwa pemerintahan didominasi oleh rekan sejawat dari Soeharto .
Setelah runtuhnya rezim orde
baru , dari sistem sentralistik ke system desentralisasi merupakan salah satu
amanat rakyat dari agenda reformasi . Otonomi daerah sebagai wujud dari
desentralisasi disambut positif oleh berbagai elemen dalam masyarakat . Otonomi
daerah merupakan proses awal untuk mewujudkan pembangunan ditingkat local.
Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi disambut cukup antusias oleh
masyarakat local. Ada banyak harapan da keinginan yang mereka sandarkan pada
otonomi daerah , meningkatnya pembangunan daerah dan juga peningkatan ekonomi
dan kesejahteraan. Inilah tujuan dan cita-cita dari agenda desentralisasi dan
implementasi otonomi daerah. Banyak pihak yang berharap bahwa pelaksanaan
otonomi daerah itu akan memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten kota , namun banyak juga temuan yang
menunjukkan bahwa otonomi daerah yang tidak diimbangi oleh perbaikan tata
pemerintahan justru merugikan kepentingan public.
Kemempuan elit local dalam
mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh beberapa hal , yaitu : pertama ,
mereka memiliki kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh masyarakat.
Elit local secara umum memiliki
pengetahuan dan wawasan yang cukup luas disbanding dengan kebanyakan masyarakat
. Karena dengan adanya teknologi , baik media cetak maupun elektronik. Melalui
tayangan media itulah mereka bias mengakses isu-isu reformasi dan juga akses
pendidikan. Namun, peran strategis dari elit local untuk menjadi corong
demokratisasi , menjadi sangat dilematis , ketika mereka mulai bersinggungan
dengan kepentingan-kepentingan politik yang ingin mendapatkan masa pendukung
dalam pemilu, terutama dalam pilkada langsung , demi kepentingan kelompok atau
golongan . kondisi ini sebenarnya bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bentuk dari partisipasi elit local dalam
berdemokrasi . tetapi yang menjadi masalah ketika elit local memanfaatkan
kekuasaan untuk memonopoli masyarakat atau dengan mengarahkan pada pilihan
politik tertentu . Selain itu , banyak
juga terjadi kerusuhan-kerusuhan ditingkat local yang di picu oleh provokasi
elit local . Disinilah terjadi ketidakserasian antara peran . Seharusnya dengan
peran yang senyatanya , sehingga terjadi hambatan-hambatan dalam proses
demokratisasi di daerah . Peranan elit local dalam mendorong demokratisasi di
tingkat local sangat berpengaruh sekali, hal ini dikarenakan peran social yang
mereka miliki. Dan mereka juga mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat
local. Biasanya mereka adalah panutan bagi masyarakat , sehingga mereka adalah
sebuah symbol yang selalu dihormati dan dipatuhi. Tentunya kondisi masyarakat
yang kental dengan budaya seperti ini di anggap sebagai penghambat dari proses
demokrasi, Untuk melihat peranan elit local dalam demokratisasi, terutama
pemilihan kepala daerah secara langsung . Dijelaskan dalam beberapa indicator
peranan yaitu sebagai berikut :
a.
Peran
dalam sosialisasi politik
Pemilihan
kepala daerah secara langsung merupakan bentuk pesta demokrasi ditingkat local
. Sehingga sangat penting pemahaman masyarakat terhadap system politik serta
bagaimana masyarakat terlibat dan memainkan peran didalamnya sehingga mampu
menempatkan pendidikan politik dalam sosialisasi agar masyarakat sadar menjadi
sub politik . Sosialisasi merupakan mekanisme pembangunan demokrasi mengenai
pendidikan polotik dan keberhasilan PILKADA ditentukan oleh bagaimana proses
sosialisasi dilakukan.
b.
Peran
dalam partisipasi politik
Peranan
elit sebagai salah satu actor dalam masyarakat , menjadikan mereka memiliki
keterlibatan dalam proses PILKADA.
c.
Peran
dalam control social
Mengingat
pentingnya PILKADA dalam proses panjang demokratisasi diindonesia, sudah
selayaknya elit local mengambil peran sebagai bagian dari control social dalam
proses tersebut.
Kemenangan Susilo Bambang Yudoyono dalam Pemilihan Presiden
tahun 2005 kemudian menambah parah kekhawatiran rakyat. Apalagi latar belakang
Presiden Yudoyono adalah dari kalangan militer. Ini seakan mengindikasikan akan
kembali berkuasanya rezim militer di Indonesia.
Kondisi ini tentunya diperparah oleh tidak befungsinya secara maksimal peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengimbangi peran Pemerintah. Berbagai Rancangan Undang – Undang (RUU) dan aturan yang diusulkan oleh Presiden begitu mudahnya diloloskan di DPR. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya basis dukungan terhadap Pemerintah di DPR. Setidaknya ada lima fraksi besar di DPR yang menjadi penyokong utama Pemerintah. Kondisi ini hampir mirip dengan kondisi di zaman Orde Baru, di mana Pemerintah mencengkeram habis DPR. Pemerintahan Presiden Yudoyono memang tidak serepresif Pemerintah Orde Baru, akan tetapi kuatnya basis dukungan terhadap pemerintahannya di DPR membuatnya sedikit otoriter dalam memerintah.
Kondisi – kondisi seperti ini yang tentulah harus dicarikan solusi jika kita tidak ingin jalan dan proses demokrasi mengalami hambatan di Indonesia. Setidaknya aturan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak tersebut haruslah direvisi dan dibuatkan suatu aturan baru yang lebih menjanjikan kelangsungan dari jalan dan proses demokrasi di Indonesia.
Kondisi ini tentunya diperparah oleh tidak befungsinya secara maksimal peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengimbangi peran Pemerintah. Berbagai Rancangan Undang – Undang (RUU) dan aturan yang diusulkan oleh Presiden begitu mudahnya diloloskan di DPR. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya basis dukungan terhadap Pemerintah di DPR. Setidaknya ada lima fraksi besar di DPR yang menjadi penyokong utama Pemerintah. Kondisi ini hampir mirip dengan kondisi di zaman Orde Baru, di mana Pemerintah mencengkeram habis DPR. Pemerintahan Presiden Yudoyono memang tidak serepresif Pemerintah Orde Baru, akan tetapi kuatnya basis dukungan terhadap pemerintahannya di DPR membuatnya sedikit otoriter dalam memerintah.
Kondisi – kondisi seperti ini yang tentulah harus dicarikan solusi jika kita tidak ingin jalan dan proses demokrasi mengalami hambatan di Indonesia. Setidaknya aturan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak tersebut haruslah direvisi dan dibuatkan suatu aturan baru yang lebih menjanjikan kelangsungan dari jalan dan proses demokrasi di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment